Amnesty International: Polisi Terkesan Sewenang-wenang Terhadap Munarman

  • Bagikan
Usman Hamid

Mediumindonesia.com, Jakarta – Menanggapi penangkapan mantan Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman, Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid angkat bicara.

Dia menilai menilai aparat terkesan sewenang-wenang terhadap MUnarman. “Polisi terkesan melakukan penangkapan yang sewenang-wenang terhadap Munarman, serta mempertontonkan secara gamblang tindakan aparat yang tidak menghargai nilai-nilai HAM ketika menjemputnya dengan paksa,” katanya dalam siaran pers, Rabu 28 April 2021.

Menurutnya, polisi menyeret dengan kasar, tidak memperbolehkannya memakai alas kaki, menutup matanya dengan kain hitam merupakan perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat. “Itu melanggar asas praduga tak bersalah,” tambahnya.

Lebih jauh Usman Hamid mengatakan bahwa tuduhan terorisme bukanlah alasan untuk melanggar hak asasi seseorang dalam proses penangkapan. Munarman terlihat tidak membahayakan petugas dan tidak terlihat adanya urgensi aparat untuk melakukan tindakan paksa tersebut. Hak-hak Munarman harus dihormati apa pun tuduhan kejahatannya.

“Meskipun sebagian ketentuan UU Anti-Terorisme bermasalah, namun Pasal 28 ayat (3) dari UU tersebut jelas menyatakan pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip HAM. Ini berpotensi membawa erosi lebih jauh atas perlakuan negara yang kurang menghormati hukum dalam memperlakukan warganya secara adil,” kata Dia.

“Belum lagi jika mengingat situasi kedaruratan pandemi COVID-19. Penegak hukum harus lebih sensitif, mempertimbangkan protokol kesehatan dan hak atas kesehatan dari orang yang hendak ditangkap atau ditahan, termasuk menyediakan masker kepada yang menutupi mulut dan hidung, bukan justru membiarkannya terbuka dan menutup matanya dengan kain hitam,” lanjutnya.

Dia oun meminta kepolisian supaya melakukan evaluasi terhadap anggota Densus yang melakukan penangkapan tersebut dan menginvestigasi kemungkinan terjadinya pelanggaran SOP dalam tindakan hukum tersebut. “Setiap penangkapan apapun kasusnya termasuk jika itu tuduhan terkait terorisme harus menghormati nilai-nilai hak asasi manusia,” katanya.

“Kami juga mendapatkan laporan yang kredibel bahwa kuasa hukum maupun keluarga belum diberikan akses kepada Munarman. Apapun kejahatan yang dituduhkan kepadanya, setiap orang yang disangka melakukan kejahatan, termasuk Munarman, memiliki hak untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah sampai dibuktikan sebaliknya oleh pengadilan yang tidak memihak. Asas praduga tak bersalah, hak untuk mengakses kuasa hukum dan juga bertemu dengan keluarga adalah hak-hak asasi seseorang yang disangka melakukan kejahatan dan berada dalam status penangkapan maupun penahanan,” bebernya.

“Kami menyayangkan jika UU Anti-Terorisme dijadikan sebagai justifikasi untuk melanggar hak asasi manusia, misalnya memperbolehkan penahanan tersangka ditahan sampai 221 hari tanpa dibawa ke pengadilan. Di bawah hukum hak asasi manusia internasional, siapa pun yang ditangkap atau ditahan atas tuduhan kriminal harus dibawa segera ke hadapan hakim yang diberi wewenang oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan kehakimannya. Orang itu juga berhak atas pengadilan dalam waktu yang layak atau mereka harus dibebaskan,” tekannya lagi.

Latar belakang
Pada tanggal 27 April, Munarman ditangkap oleh anggota kepolisian dari Detasemen Khusus Anti-Teror 88 di rumahnya di Tangerang Selatan, Banten, atas tuduhan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme dan bermufakat jahat untuk melakukan tindak pidana terorisme.

Berdasarkan informasi dari M. Hariadi Nasution – Ketua Tim Advokasi Ulama dan Aktivis (TAKTIS) – yang dihubungi oleh Amnesty, hingga kutipan ini ditulis, tim kuasa hukum belum diberi akses untuk mendampingi Munarman. Mereka juga belum menerima informasi apapun mengenai proses pemeriksaan, walaupun telah bersiap di Polda Metro Jaya.

Pasal 27 Undang-Undang No. 5 tahun 2018 terkait pemberantasan tindak pidana terorisme memberikan wewenang kepada polisi untuk menahan terduga selama paling lama 21 hari sebelum ditetapkan sebagai tersangka, sementara pasal 25 juga memberikan polisi wewenang untuk menahan tersangka selama paling lama 200 hari sebelum kasus dibawa ke pengadilan. Artinya orang yang ditangkap karena dugaan melanggar UU No 5/2018 dapat ditahan hingga 221 hari tanpa dibawa ke pengadilan – pelanggaran terang-terangan terhadap hak siapa pun yang ditangkap atas tuduhan pidana untuk segera dibawa ke hadapan hakim dan diadili dalam waktu yang wajar atau dibebaskan.

Sebagai negara pihak Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT), Indonesia juga memiliki kewajiban untuk memastikan terduga atau tahanan diperlakukan secara manusiawi di dalam setiap tahap proses penegakan hukum. Komite Menentang Penyiksaan PBB juga telah mengatakan bahwa penggunaan penutup mata dapat tergolong perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat lainnya – dan tidak boleh dilakukan oleh Negara dalam keadaan apapun. (*)

  • Bagikan

advertisement